Tapi ShikaTema dulu ya...
Hahaha.., :D
Love -Love Naruto <3 <3 <3
ShikaTema Fic
“Kau mau pergi ke Konoha?” aku
terkejut saat Gaara mengutarakan keinginannya hari itu. “Memangnya ada urusan
apa?” adik bungsuku itu diam dan menyerahkan secarik kertas padaku. Aku membaca
tulisan di kertas itu, dan betapa terkejutnya aku saat tahu bahwa Akatsuki
menyerang Konoha dan membuat salah satu Jounin elit Konoha tewas. Aku kenal
nama Jounin itu, Sarutobi Asuma—dia… Jounin pembimbing Shikamaru….
Gaara memandangku, “—Ikutlah
denganku,” katanya.
“Eh?! Tapi pekerjaanku di sini masih
banyak.”
Dia berdiri dan memakai jubah
Kage-nya, “jangan berpura-pura. Di saat begini, bukankah lebih baik kalau ada
seseorang yang menemani si Chuunin itu?!”
“—Gaara.”
“Sore ini aku berangkat,” lalu Gaara
pun keluar dari ruang kerjanya.
Aku memandang ke langit bersih yang
memayungi Suna, “….Shikamaru—bagaimana dia saat ini?” batinku. Sudah 3
bulan lebih aku tidak ke Konoha. Tapi sekarang—datang dalam suasana begini
membuat perasaanku sedikit tidak nyaman. Lalu aku pun mengikuti Gaara keluar
dari ruangan utama di gedung akademi Suna ini.
“—Jadi kalian benar-benar akan pergi
ke Konoha?” Kankurou menemuiku di kamar saat aku membereskan barang-barang.
“Ya. apa kau tidak ikut?”
“Tidak. Aku tidak ada urusan di
sana. Kalau kita bertiga pergi, siapa yang akan menjaga wilayah desa?” katanya.
“... Benar juga. Baiklah, aku titip
Suna padamu, ya!”
Kankurou mendengus, “tidak perlu
bicara juga pasti aku jaga,” dia mendekatiku, “—Kau tidak apa-apa ‘kan?”
“Eeh? Kenapa?”
“Ah...tidak. Maksudku—tentang si
Chuunin itu—aku sudah dengar kabarnya dari Baki Sensei.” Kankurou terlihat
bingung sendiri.
Aku menutup tasku dan menyandangnya
di punggung, “aku tidak apa. Aku yakin Shikamaru juga baik-baik saja. Walau
terlihat lemah begitu, dia cukup tegar.”
Kankurou memandangku, “... sebenarnya
sampai sekarang aku masih bingung denganmu. Kenapa bisa-bisanya kau tahan
dengan orang tipe seperti itu. Seingatku itu tipe pria yang paling kau benci
karena selalu mempersalahkan gender.”
Aku tersenyum, “kau belum kenal dia
sih. Banyak sifatnya yang membuatku nyaman di dekatnya,” aku merapatkan tanda
ninja di keningku, “sebaiknya kau juga mulai cari pasangan sana. Punya
seseorang yang dekat dengan kita itu menyenangkan.”
“Hmp—saat ini aku cukup dekat dengan
kalian berdua saja. Tidak perlu yang lain.”
Aku tertawa geli melihat rona merah
di wajah Kankurou. Tak lama Gaara muncul di pintu kamarku yang terbuka. Dia
juga sudah membawa tasnya.
“…. Kau sudah siap?”
“Ya,” jawabku. “Ayo berangkat! Kami
pergi dulu, Kankurou.”
XOXOXOXOXOXOXOXOXO
Sesampainya di Konoha, kami langsung
menemui Tsunade Sama. Beliau menceritakan duduk pekara yang menimpa Konoha. 2
anggota baru Akatsuki sudah muncul. Merekalah yang menyebabkan Jounin bernama
Asuma itu tewas.
“Aku benar-benar senang kalian mau
datang ke Konoha ini,” ujar Tsunade Sama.
“Tak apa. Aku juga masih punya
urusan dengan Akatsuki itu.”
Aku memandang Gaara. Anak ini sudah
tumbuh dewasa dengan begitu gagahnya. Tapi walau begitu... aku tetap tidak tahu
seberapa besar beban yang harus dia pikul di pundaknya yang kecil itu.
“Baiklah; kita bicara lagi besok.
Sekarang kalian beristirahatlah dulu. Perjalanan dari Suna sangat panjang,
kalian pasti lelah.”
Setelah itu aku dan Gaara pun
meninggalkan ruangan Hokage, “apa rencanamu sekarang?” tanyaku pada Gaara.
“….Aku mau mencari Naruto.”
Rasanya aku bertanya hal yang
sebenarnya sudah aku tahu jawabannya.
“Kalau kau mencarinya, dia ada di
area latihan utara.”
Kami berdua menoleh. Di belakang
kami ada Sakura, rekan 1 tim Naruto. Gadis itu tersenyum, “kaget aku melihat
kalian berdua di sini,” dia menghampiri kami, “apa ada urusan?”
“Hmm—dibilang ada, ya memang ada,”
aku mendekat padanya dan berbisik, “tapi aku pikir ini hanya karena Gaara bosan
saja.”
Sakura tertawa pelan, “aku rasa juga
begitu,” katanya balas berbisik padaku.
“Aku pergi dulu kalau begitu,” dan
Gaara pun langsung menghilang dari dekat kami.
“Waduh!! Jangan-jangan dia dengar
dan jadi marah,” Sakura jadi pucat.
Aku tersenyum, “tidak apa. Dia yang
sekarang tidak akan marah kalau digoda begini saja.”
“Hee...begitu!? Syukurlah.”
Aku memandang sosok adikku yang
menghilang di tikungan koridor, “kalau begitu, aku mau ke gedung Chuunin dulu,”
kataku.
Sakura tampaknya paham, dia pun
mengangguk, “tolong hibur Shikamaru, ya?! Rasanya—dia jadi sedikit berubah
sekarang.”
“Umm—Aku usahakan. Sampai nanti,
Sakura,” aku melambai ringan padanya dan langsung menuju ke gedung pelatihan
Chuunin yang sedikit jauh dari gedung akademi pusat. Sampai disana, aku lihat
gedung itu sedikit lengang, aku masuk dan mencari-cari sosok Shikamaru. Biasanya
dia pasti sedang bengong di sudut ruangan dekat jendela. Tapi hari ini—dia
tidak ada di sana.
Aku berjalan ke belakang gedung itu;
lalu dari balik sebatang pohon aku melihat asap membumbung berbentuk bulatan.
Aku menghampiri asal asap itu. Aku terkejut begitu melihat kalau asap itu
berasal dari Shikamaru yang sedang merokok. Padahal setahuku dia tidak
merokok….
Shikamaru menyadari kedatanganku,
dia pun menoleh. Dia tidak bicara apa-apa, hanya memandangku sebentar dan dia
kembali tenggelam dalam dunianya.
Aku berjalan pelan menghampiri dan
duduk di sampingnya. Aku pun diam. Tak tahu harus bicara apa. Entahlah... aku
tidak mengenal Shikamaru yang ada di dekatku saat ini.
“.... Kau datang karena mendengar
kabar itu, ya?!” katanya setelah entah berapa menit kami berdiam diri.
“Ya,” aku terdiam sebentar dan
kemudian memandang wajahnya, “aku… turut berduka atas Senseimu.”
Shikamaru terdiam lagi, dia
menyalakan sebatang rokok yang lain, “…tidak ada yang perlu disesali. Asuma
menjalani hidupnya sebagai seorang shinobi dengan penuh kebanggaan.”
Aku menunduk, “bagaimana dengan
Kurenai-San?”
“…. Dia sempat shock, tapi sekarang
dia sudah pulih kembali. Dia wanita yang kuat—hampir sepertimu,” Shikamaru
menyandarkan badannya di batang pohon, “lagipula—saat berdukaku sudah usai
karena dendam Asuma sudah aku balaskan." Shikamaru mematikan api di
puntung rokoknya yang sudah memendek.
Aku memandang wajahnya—dia jadi jauh
lebih dewasa dari saat terakhir kami bertemu.
"Saat ini aku malah sedang
berdebar-debar."
"Eh?"
Shikamaru memandangku dan tersenyum,
"aku berdebar menantikan penerus Asuma."
"Eee?" aku makin tidak
mengerti arah pembicaraannya, "penerus apa maksudmu?"
"Kau belum tahu? Kurenai Sensei
sedang mengandung anak Asuma. Sudah 4 bulan sekarang."
"Eeehh!! Sungguhkah? Kenapa kau
tidak cerita?"
Shikamaru hanya tersenyum untuk
menjawabku. Lalu dia berdiri, "mumpung kau datang—kita ke tempat Asuma
yuk. Aku sudah bilang padanya tentang kita, tapi kalian belum sempat sekalipun
berbicara 'kan?"
Aku ikut berdiri, "kalau diingat...
aku memang jarang bertemu dengannya. Paling juga hanya berpapasan sebentar
tanpa bertukar kata."
"Makanya, sekarang aku ingin
mengenalkanmu padanya. Setelah itu, kita jenguk Kurenai Sensei."
Aku pun mengiyakan ajakannya.
Bagaimanapun juga, kunjunganku kali ini adalah untuk menghiburnya, jadi—apapun
yang dia minta, tidak akan aku tolak….
Kemudian, usai mengunjungi makan
Asuma, kami pun menuju ke rumah Kurenai San. Ternyata saat itu juga ada 3
anggota tim 8 asuhan Kurenai San, Hinata Hyuuga, Aburame Shino dan juga Inuzuka
Kiba, minus anjingnya, Akamaru.
"Wah wah—hari ini banyak sekali
yang mengunjungiku," ujar Kurenai San menyambutku dan Shikamaru.
"Maaf menganggu," aku pun
masuk dalam kamar apartemen kecil yang tertata apik. Kurenai San duduk di
sebuah sofa santai dikelilingi 3 muridnya.
"Bagaimana keadaanmu hari
ini?" tanya Shikamaru sambil mengajakku duduk di salah satu sofa panjang
yang kosong.
"Aku sehat. Seperti yang kau
lihat," kata Kurenai San. Lalu ia memandangku, "Shikamaru pernah
cerita tentangmu, tapi baru kali ini dia mengajakmu."
"Kami baru dari tempat
Asuma," kata Shikamaru, "aku cuma pernah cerita tentang Temari
padanya. Belum sempat memperkenalkannya dengan benar."
"Tingkahmu ini seperti sudah
mau melamar dia saja," Kurenai San tergelak. Dan aku yakin wajahku
sekarang pasti merah padam, "Temari," panggilnya lembut padaku.
Suarnya mengingatkanku pada almarhum Kaasan.
"Ya?" aku membalas
pandangannya.
"Shikamaru ini pasti bakal
merepotkanmu. Jadi tolong awasi dia, ya?"
Aku melirik Shikamaru yang juga
tersipu, "ya... aku akan berusaha," kataku.
Setelah itu kami pun mengobrol
santai di sana. Hinata, gadis manis yang pemalu dan canggung, menyuguhkan teh
dan makanan ringan pada kami untuk menemani obrolan sore itu. Ini hari yang
menyenangkan, karena ini kali pertama aku berkumpul bukan dengan Sakura….
Saat hari berubah gelap, aku dan
Shikamaru berpamitan pulang sementara 3 Chuunin didikan Kurenai San masih
tinggal. Kami berdua pun kembali ke pusat keramaian di Konoha.
"Kurenai San itu wanita yang menarik
ya. Cantik, pintar, juga sangat pengertian. Asuma Sensei beruntung bisa
mendapatkannya."
"Haa.... menurutku masih
terlalu bagus untuk Asuma. Sempat kaget juga sih waktu Asuma bilang dia sudah
menikah dengan Kurenai Sensei. Tidak ada pesta, tidak dihadiri siapapun, hanya
momen mereka berdua saja."
"Bukankah itu romantis? Memang
pernikahan itu momen bagi pasangan saja 'kan?"
"Memangnya kau mau kita menikah
seperti itu nanti?"
Sontak aku menghentikan langkahku
saat itu. Dia juga, sepertinya dia juga kaget karena ucapannya barusan. Mukanya
merah sekali. Perlahan Shikamaru menoleh padaku...
"Yang barusan itu... lupakan
saja. Anggap saja aku tidak bicara apa-apa."
"Terlambat."
"Eh?"
"Aku sudah terlanjur
mengingatnya," aku tersenyum.
Wajahnya makin merah saat itu dan
dia pun bergegas jalan lagi. Aku tersenyum dan baru menyusulnya setelah
beberapa langkah Shikamaru berjalan.
"…. Yang tadi itu,” kataku
pelan, “berdua saja tidak apa kok,” aku mensejajari langkahnya dan meraih
jemarinya dalam genggamanku.
Dan entah benar atau salah dengar,
Shikamaru berkata, "--terserah saja..."
XOXOXOXOXOXOXOXOXO
Keesokan harinya aku menemani Gaara
ke gedung akademi untuk bertemu dengan Tsunade Sama dan membahas masalah
mengenai kelanjutan kasus Akatsuki, Tsunade Sama juga bilang kalau ia sudah
mengirim para Anbu pemburu untuk melacak keberadaan Sasuke. Batas waktu 3 tahun
sudah semakin sempit. Jika ditunda lebih lama lagi, Orochimaru akan mengambil
alih tubuh Sasuke dan kembali menjadi ancaman terbesar bagi Konoha.
Orochimaru... orang yang sudah
memperdaya ayah dan menorehkan tinta hitam dalam hubungan Konoha-Suna. Dan juga
orang yang sudah membunuh ayah demi tujuan pribadinya. Dia benar-benar ular
yang sangat licik. Pantas Naruto sangat membencinya.
Usai rapat singkat, Tsunade Sama pun
mengizinkan kami menikmati hari ini. Begitu keluar dari ruang Hokage, aku
melihat Naruto sudah berdiri di depan ruangan itu sambil bersandar pada
dinding.
"Sudah selesai urusannya?"
tanya Naruto.
"Kau ini—bela-belain nunggu
diluar begini, kau mau apa lagi?"
"Yee—Temari San ini curigaan
banget sih? Aku ‘kan ga ngajakin Gaara ke tempat yang aneh-aneh. Cuma
berjalan-jalan saja. Iya 'kan, Gaara?!" Naruto mencari dukungan.
"Memang kau tidak ada
misi?" tanyaku.
"Temari San ngejek? Tanganku
masih begini juga disuruh ambil misi," Naruto menunjuk tangan kanannya
yang memang masih terbebet perban dan gips. Aku dengar dari Shikamaru, lukanya
itu karena pertarungannya melawan salah seorang anggota Akatsuki. Ternyata dia
juga bertambah kuat—sayang, kapasitas otaknya tidak bertambah.
"Ya sudah, kalau mau pergi ya
pergi sana. Atau kau mau menemaniku bertengkar?"
"Yeee—daripada bertengkar lebih
baik bersenang-senang, Temari San juga—selamat berkencan," dia nyengir
jahil padaku.
PUOK!! Sepenuh hati aku menjitaknya
sampai dia meringis kesakitan, "jangan suka mengejek orang yang lebih tua
darimu. Ya sudah—sampai nanti," dan aku pun berlalu meninggalkan dua
pemuda itu.
Begitu keluar dari gedung akademi,
aku terkejut mendapati Shikamaru berdiri di bawah pohon besar yang rindang. Dia
melambai ringan padaku.
Aku pun segera menghampirinya,
“tumben. Ada angin apa kau berkeliaran di akademi siang bolong begini?”
“Angin dari Suna,” kata Shikamaru
cuek, tapi itu bisa membuatku tersipu, entah kenapa, “setelah ini kau
senggang?”
“Eh? Ya. Aku tidak ada pekerjaan
lain. Memang kenapa?” tanyaku.
Shikamaru sepertinya mengalami
pergumulan dalam hatinya, tapi toh akhirnya dia memandangku, “kalau kau tidak
keberatan... bagaimana kalu kita minum teh sebentar?” tawarnya.
Aku lumayan terkejut dengan ajakan
ini. Dalam analisaku... hanya ada 0,01 persen kemungkinan si super pemalas ini
akan mengajakku kencan. Dan alhasil, aku sampai terbengong-bengong dibuatnya.
“Hei!! Aku bicara denganmu!!”
Shikamaru melambaikan tangannya di depan wajahku dan membuat kesadaranku
kembali, “bagaimana? Mau tidak?” ulangnya.
Akupun tersenyum lebar. Bagaimana
mungkin aku menolak ajakan yang sudah aku tunggu sekian lama ini ‘kan? Maka aku
pun mengapit lengannya mesra, “Ayo.!!”
“Cih... dasar. Mau bilang iya saja
susah. Dasar perempuan. Mendokusai!!”
Aku tersenyum mendengar lagak
bicaranya yang sok cuek, padahal aku bisa merasakan debaran jantungnya yang
berdetak kencang tidak beraturan, “dasar laki-laki,” balasku.
Kemudian kami berdua pun menuju ke
kedai teh yang ada di tepi sungai Konoha. Aliran sungai yang cukup lebar itu
sangatlah jernih. Musim panas jadi terasa sejuk.
Shikamaru memesan 2 gelas ocha dan
sepiring fukiyose. Dan dengan cepat, pelayan teh itu menyuguhkannya untuk kami.
Aku dan Shikamaru duduk di bangku yang
terbuat dari bambu dan menikmati nikmatnya teh hijau itu. Aku mencicipi kue
kering yang berbentuk bunga yang cantik. Suasana yang santai seperti ini tidak
pernah aku dapatkan di Suna.
Aku melirik Shikamaru, dia sedang
menyalakan sebatang rokok yang sudah terselip di bibirnya, “... kau merokok
lagi...”
Shikamaru memandangku sekilas
sebelum kembali memandang luasnya langit di atas sana, “sejak Asuma meninggal,”
dia menghembuskan asap rokok itu menjadi bulatan, “aku menganggap rokok sebagai
penggantinya. Setiap aku menghisap rokok ini... rasanya Asuma sedang berada di
dekatku.”
Sekali lagi aku menggenggam
tangannya, dan kurasakan getaran halus di sana, “ia akan selalu ada. Selama kau
mengingatnya... Asuma San akan selalu ada di dekatmu,” kataku.
Shikamaru memandangku. Namun dia
hanya diam. Meski begitu aku masih bisa menangkap duka yang memenuhi dirinya.
Ku rasa dia tidak akan pulih begitu saja. Mengingat seberapa dekat hubungannya
dengan Asuma-san dulu. Ah tidak...
bahkan sekarang pun tetap sama. Ya ampun... apa aku ini sedang cemburu? Aku
berusaha mengenyahkan pikiran aneh ini. Mana mungkin aku bisa disamakan dengan
Asuma.
Selesai menikmati teh dan juga kue
itu, kami pun melanjutkan langkah kami. Entah kemana aku tidak tahu. Aku hanya
mengikuti kemana Shikamaru pergi. Setelah beberapa tempat kami datangi, barulah
dia bicara.
“Setiap selesai misi, Asuma selalu
mengajak kami ke tempat-tempat ini. Bercerita tentang masa lalu. Merencanakan
masa depan. Tapi sayangnya... masa depan yang dia inginkan tidak akan pernah
dia rasakan.”
Aku mendekatinya dan menepuk
lengannya pelan. Tidak berusaha menyela apa yang dia bicarakan. Aku mendengar,
membayangkan... betapa berarti sosok seorang Sarutobi Asuma bagi pemuda ini,
Nara Shikamaru.
Aku... tidak pernah mempunyai hubungan
yang seerat itu dengan orang lain. Jadi aku tidak begitu mengerti sakit yang
dirasakan Shikamaru. Tapi yang aku tahu pasti... saat seperti ini tak seorang
pun ingin sendiri. Karena itu aku.. ada disini untuk selalu menemaninya.
#
Shikamaru mengantarku kembali ke
penginapan setelah matahari terbenam. Seharian ini.. entah kenapa aku jadi
merasa lebih dekat dengannya.
“Hari ini... terima kasih sudah
menemaniku,” katanya pelan dengan wajah yang sedikit tersipu.
Aku tersenyum, “sama-sama,” kataku,
“aku suka kau ajak berkeliling seperti ini.”
Sejenak kami saling terdiam. Yah..
dia juga bukan tipe cowok yang suka banyak bicara sih. ‘Mendokusai’, itu yang
selalu dia katakan setiap waktu. Dan entah kenapa, itu yang membuatku tertarik
padanya.
“Hari sudah malam. Ku rasa aku harus
segera pulang,” dia membenahi jaket Chuunin yang kini semakin pantas dia
kenakan, “emm... sampai besok.”
“Sampai besok,” aku pun berbalik dan
hendak masuk dalam penginapan, namun tiba-tiba lenganku tertarik. Dan detik
berikutnya... aku dan Shikamaru... sudah berciuman. Begitu terkejutnya, aku
sampai tidak bisa bereaksi apa-apa. Pikiranku sepertinya terbang
melayang-layang tak terkendali.
Entah berapa lama waktu berjalan,
akhirnya Shikamaru melepaskanku. Bisa ku lihat dengan jelas wajahnya yang merah
padam. Dan ku pikir, wajahku juga tidak jauh berbeda dengannya.
“Ehem!!”
Kami berdua menoleh begitu mendengar
suara deheman itu. Dan ternyata kini Gaara dan juga Naruto, berdiri tidak jauh
dari kami. Wajah Gaara tetap datar seperti biasa, sedangkan Naruto... dia
tersenyum super lebar. Membuatku menyadari kalau mereka memergoki kami sedang
berciuman, di jalan, di depan penginapan. Oh tidak!!
“B-baiklah... ku pikir ini waktunya
aku pulang,” Shikamaru tergagap, “sa-sampai besok, Temari.”
Aku hanya mampu mengangguk dan
membiarkannya pergi begitu saja. Limbung seperti orang yang sedang mabuk.
“Hemmm... jadi begini kalau Temari
San dan Shikamaru pulang kencan,” goda Naruto, “gimana nih, Gaara. Sebentar
lagi kakakmu ini diambil Shikamaru lho...”
“NARUTOOO!!” pekikku setengah kesal
setengah malu, “jangan dengarkan dia, Gaara!” kataku.
Gaara diam dan memandangku dengan
bola mata hijaunya, “apapun keputusanmu... aku tidak punya hak untuk berkata
‘tidak’ ‘kan? Ini hidupmu sendiri,” katanya, “aku masuk duluan,” dan dia juga
Naruto meninggalkanku yang masih mematung di depan penginapan.
....
Aku merebahkan diriku di kasur
penginapan yang empuk. Otakku mulai bisa berpikir normal lagi. Tapi sentuhan
Shikamaru tadi masih terus terbayang di kepalaku.
Perlahan ku sentuh bibirku dan ku
rasakan aroma rokok milik Shikamaru. Aroma yang asing... tapi aku merasa kalau
itu aroma yang sangat aku inginkan di dunia ini. Tanpa sadar aku tersenyum.
Selama ini aku dan Shikamaru bisa
dibilang hanya menjalin Hubungan Tanpa Status. Di bilang pacaran... aku maupun
Shikamaru tidak ada yang mengungkapkan kata ‘suka’. Kalau dibilang hanya
berteman... aku dan Shikamaru juga tahu kalau hubungan ini spesial. Tapi dengan
‘kejutan’ tadi... aku jadi yakin kalau aku dan dia.. memang berada dalam
hubungan yang jelas sebagai sepasang kekasih.
Senyumku tak jua hilang hingga aku
pun tertidur dalam buaian mimpi yang sangat menyenangkan...
XOXOXOXOXOXOXOXOXO
Aku dan Gaara berada di Konoha
hampir satu minggu. Dan besok kami harus segera kembali ke Suna karena Ebizou
Sama sudah mengirimkan surat yang meminta Gaara supaya lekas kembali ke kursi
jabatannya sebagai seorang Kazekage. Aku bisa menangkap kekesalan di wajah
Gaara, meski itu tipis sekali.
Ya... aku maklum. Sejak menjabat
sebagai shinobi no 1 di Suna, waktu bebasnya hilang tidak berbekas. Ku pikir
dia juga butuh liburan seperti ini. Toh dia juga remaja berusia 16 tahun yang
masih butuh bersenang-senang.
Hari ini pun, Gaara menghilang
bersama dengan Naruto. Anak itu, kalau sudah bertemu dengan Naruto, tiba-tiba
menjelma menjadi orang lain. Lebih rileks, lebih tenang dan juga... lebih
ceria. Hal yang jarang ku lihat di Suna.
Tapi aku tidak memusingkan kemana
mereka pergi karena hari ini... Shikamaru mengajakku berjalan-jalan. Dia
menjemputku di penginapan jam 11 siang. Dan dia membawaku ke kedai yakiniku
langganannya bersama teman satu timnya. Kami pun makan siang di sana.
Hari ini aku merasa ada yang aneh
dengan Shikamaru. Biasanya dia sangat pasif, tapi hari ini... dia banyak
bertanya padaku. Tentang kegiatanku di Suna. Tentang Gaara, Kankurou; juga
tentang hal-hal yang berkenaan denganku. Seperti hobi, makanan kesukaan, apa
yang ku lakukan kalau senggang.
Heran... tapi ini menyenangkan. Baru
kali ini kami berinteraksi dengan ‘normal’ seperti ini. Saling bertanya. Saling
mengenal lebih jauh. Aku menemukan banyak sisi Shikamaru yang tidak aku
ketahui, dan aku juga memberitahukannya mengenai diriku.
Sekali lagi kami menghabiskan hari
untuk menjelajah Konoha. Menyusuri tempat-tempat favorit Shikamaru. Dan saat
senja, kami berhenti di atap sebuah gedung yang lumayan tinggi, tempat
Shikamaru biasa tidur di setiap kesempatan yang dia punya.
“Jadi besok kau akan kembali ke
Suna, ya?”
Aku mengangguk, “Biar bagaimana
Gaara itu Kazekage, mAna mungkin diizinkan keluar desa lebih lama dari ini. Aku
juga punya banyak pekerjaan di sana. Kasihan Kankurou kalau harus kerja
sendiri.”
Shikamaru mematikan rokoknya yang
tinggal setengah itu, “Kapan... kau bisa kemari lagi?” tanyanya tanpa
memandangku.
Aku tersenyum jahil, “Kenapa? Kau
sudah rindu padaku?”
“Kalau iya kenapa?”
Aku tertegun mendengar jawaban
langsungnya yang dengan sukses membuatku terpana. Meragukan pendengaranku
sendiri.
Shikamaru meraih tanganku dan
menggenggam jemariku dengan erat. Sekali lagi bibir kami bersentuhan, dan bukan
dengan gerakan kikuk seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu. Shikamaru
sangat lembut, membuatku tergoda untuk larut dalam sentuhan itu.
Tangan Shikamaru melingkar di
pinggangku, membawaku masuk dalam pelukannya. Dia sama sekali tidak berniat
menyelesaikan sentuha itu begitu saja, begitu pun dengan aku yang enggan
mengakhiri ciuman ini.
Wajahku terasa luar biasa panas
begitu Shikamaru melepaskanku. Kami berdua saling berpandangan. Wajahnya merah,
tapi sepertinya dia sudah lebih bisa mengendalikan diri. Aku tersenyum dan
mengecup pipinya.
Jemari kami masih saling bertaut
saat Shikamaru mengangkat tanganku dan mencium punggung tanganku, “Suatu saat
nanti... Kalau aku katakan ‘Menikahlah denganku’... Apa kau akan menjawabnya
dengan, ‘ya’?”
Aku kaget dengan pertanyaan itu.
Namun aku memberinya sebuah senyuman, dan anggukan mantap.
“Walau aku memintamu menunggu hingga
aku menjadi seorang pria dewasa yang pantas bersanding denganmu?”
Aku mengangguk lagi.
“Meski itu berarti dalam waktu yang
lama?”
“Dasar Cerewet! Pasti Ku tunggu.
Akan...”
Dia memandang lekat kedua mataku.
Sedikit malu dan salah tingkah. Namun pada akhirnya dia tersenyum juga, “aku
tidak akan membuatmu kecewa. Tapi....”
“Tapi? Tapi apa?” tanyaku heran.
“Ku harap pada waktunya nanti kau
sediakan perlengkapan P3K yang banyak.”
“Heh? Untuk apa?”
Shikamaru melepaskan tanganku hanya
untuk menggaruk pipinya dengan telunjuknya, “Yah... Entah apa yang akan
dilakukan kedua adikmu itu kalau tahu niatanku ini ‘kan? Waktu dipergoki Gaara
kemarin, aku sudah berpikir kalau aku pasti mati saat itu juga. Dan keajaiban
kalau aku masih hidup sampai sekarang dan bahkan berani melamarmu begini.”
Mendengar itu, aku langsung tertawa
terbahak-bahak. Tidak peduli walaupun itu membuat Shikamaru tersinggung. Aku
sungguh belum bisa mengerti dia. Bisa-bisanya berubah dari wajah serius yang
sanggup menggetarkan hatiku, menjadi wajah polos yang konyol seperti biasa.
Kalau ada pepatah ‘hati wanita itu
sedalam lautan’, maka pasangannya adalah ‘hati lelaki itu setinggi puncak
gunung’. Sama-sama membuat penasaran pada apa yang berada di sana.
“Berhenti tertawa!!” ujar Shikamaru,
antara memohon dan menyuruh.
Aku pun memaksakan diri untuk
berhenti tertawa. Dan sedikit sukses, meski melihat wajah Shikamaru yang
bercampur aduk itu membuatku ingin tertawa lagi.
“Dasar cewek,” kata-kata khasnya
keluar lagi.
Aku tersenyum untuk menahan tawaku.
Dan kami sama-sama tersenyum.
Ku rasa... senja di Konoha di akhir
hari itu tidak akan pernah aku lupakan. Dan kelak, pasti akan menjadi kenangan
indah antara aku dan Shikamaru. Aku yakin bahwa aku akan menemukan kebahagiaan
sejatiku bersamanya... dan untuk itu, aku akan menjadi orang yang paling sabar
di dunia. Menanti saat dimana nama keluargaku akan berubah.
Yah... semoga saja Shikamaru tidak
harus opname dulu setelah melamarku nanti.
“Temari...”
“Apa?”
“Berhenti tertawa, kataku!!!”
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar